Article Detail

Menemukan Nilai dalam Berpakaian Adat

Perayaan hari jadi kota Yogyakarta di SD Tarakanita Senin, 8 Oktober 2012 sangat meriah. Kemeriahan sudah terasa sejak anak-anak memasuki gerbang sekolah. Hari ini terasa berbeda dibandingkan hari-hari lainnya. Semua siswa, guru, dan karyawan mengenakan pakaian adat. Sebagian besar mengenakan pakaian adat Jawa gaya Yogyakarta, atau Solo, tetapi ada pula yang mengenakan pakaian adat gaya Minangkabau, Bali, Batak, dll.

Perayan diawali dengan upacara bendera. Upacara bendera berbeda dari upacara bendera-upacara bendera yang setiap hari Senin dilaksanakan. Pada perayaan hari jadi Kota Yogyakarta kali ini upacara Bendera dilaksanakan dengan tata cara Bahasa Jawa. Petugas upacara bendera dilakukan oleh Bapak-Ibu guru. Terasa aneh upacara bendera kali ini sebab memang belum terbiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam upacara bendera. Selesai upacara bendera dilanjutkan dengan lomba untuk semua siswa.

Perlombaan dipilih dengan mengusung tema serba tradisional. Siswa kelas satu dan dua lomba mewarnai gambar. Gambar yang diperlombakan adalah gambar Tugu Yogyakarta untuk kelas satu, untuk kelas dua mewarnai motif batik. Kelas tiga berbeda lagi mereka lomba permainan tradisional jamuran, kelas empat dan lima loba gerak dan lagu. Sedangkan kelas enam menulis menggunakan Huruf Jawa. Kemeriahan menjadi sangat terasa sebab masing-masing kelas mencoba menampilkan kreasi terbaiknya. Lagu-lagu yang diperlombakan adalah lagu-lagu dolanan anak maka mereka menggunakan properti yang sesuai dengan lagu. Misalnya ketika membawakan lagu jaranan maka properti pendukungnya jaran kepang. Bahkan ada kelompok yang menggunakan jaran kepang bukan dari kepang tetapi pelepah pisang. Persis seperti permainan anak-anak desa pada tahun tujuhpuluhan atau delapan puluhan.

Nuansa Tradisional
Mengapa pelaksanaan peringatan hari jadi Kota Yogyakarta bernuansa tradisional? Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya. Artinya masyarakat kota Yogyakarta masih menghidupi kebudayaan nenek moyang. Bagi anak-anak mengenakan pakaian adat, menyanyikan lagu daerah, memainkan permainan tradisional merupakan suatu proses belajar mengenal budayanya sendiri. Kata orang “tidak kenal maka tidak sayang”. Kalau orang telah mengenal terus apa yang harus dilakukan? Pengelanan merupakan proses awal untuk mencintai. Namun demikian rasa cinta tidak akan tumbuh ketika orang tidak memahami makna yang terdapat pada pengalaman tersebut.

Dalam proses belajar agar orang dapat mencintai maka perlu mengenali, menerti, dan memahami, nilai yang terkandung pada suatu peristiwa Mengenakan pakaian adat dan kemerihan perayaan, bukan tujuan pertama dan utama yang mau dicapai. Yang mau dicapai adalah para peserta perayaan mengambil nilai positif dari kegiatan mengenakan pakaian adat, upacara bendera dengan tata cara bahasa Jawa, serta permainan tradisional yang diperlombakan. Ketika nilai-nilai tersebut dapat diinternalisasikan dalam hidupnya setiap hari maka akan menjadi referensi positif dalam membangun kepribadian diri.

Bagaimana menemukan nilai dalam suatu peristiwa? Cara yang memungkinkan adalah membangun suasana henig. Dalam keheningan tersebut orang dapat mempertanyakan apa maksud peristiwa tersebut bagi dirinya sendiri, orang lain, dan alam sekitar kita. Menemukan Nilai Berbagai perasaan mungkin muncul ketika menerima informasi bahwa pada peringatan hari jadi Kota Yogyakarta seluruh siswa, guru, dan karyawan mengenakan pakaian adat. Sebagian mungkin senang, tetapi ada pula yang mungkin merasa repot, kawatir, keberatan, jengkel, dll. Membiarkan perasaan-perasaan tersebut berlalu memang tidak ada artinya. Baru memberi arti ketika orang mau membangun suasana hening dan bertanya untuk mendapatkan jawab “mengapa aku kecewa, keberatan, merasa repot, jengkel?”

Demikian pula ketika orang mengenakan pakaian adat. Pengalaman yang pertama kali muncul mungkin merasa tidak bebas, panas, ribet dll. Mengenakan pakaian adat, terutama Jawa sebenarnya tidak hanya semata-mata orang berpakaian saja. Dalam berpaiakan adat Jawa perlu disertai pemahaman mengenai tata krama yang melekat dengan berpakaian Jawa tersebut. Ketika mengenakan pakaian adat Jawa orang tidak dapat dengan mudah berjalan berlari. Orang berjalan harus dengan tenang dan pelan. Kalau mengenakan pakaian adat Jawa cara berjalannya berlari pasti akan terjatuh karena “kesrimpet”. Berjalan pelan dan tenang bukan berarti tikdak cekatan dalam bekerja.

Demikian pula ketika mengerjakan sesuatu secara pelan dan tenang bukan berarti orang tersebut malas. Pekerjaan yang dilakukan dengan penuh ketekunan, dilakukan dengan kehati-hatian karena ingin memperoleh hasil yang baik dapat pula pelan mengerjakannya. Berjalan pelan dapat dimaknai bahwa pengalaman-pengalaman hidup harian perlu direnungkan untuk ditemukan arti dan maknanya bagi dirinya sendiri orang lain maupun alam sekitarnya. Pemaknaan ini membutuhkan kemauan menciptakan suasana hening dan diam supaya dapat bertanya dan menemukan maknyanya. Hanya orang-orang yang terbiasa menemukan maksud Allah dalam setiap pengalaman hidupnya yang mampu bersyukur secara tulus.

Permainan jamuran memiliki makna yang berbeda. Dalam permainan ini dapat ditemukan makna sosial. Berbeda dengan permainan digital yang pesat perkembangannya. Permainan digital cenderung orang bekerja sendiri karena dapat dilakukan sendiri, tetapi dalam permainan jamuran tidak dapat dilakukan sendiri maka harus bersama orang lain. Dimensi sosial permainan ini terletak dalam kesepatan bersama akan peraturan-peraturan yang berlaku dalam permainan. Disinilah orang diajak membangun kerjasama supaya permainan ini dapat terlaksana. Ketika orang terpengaruh terhadap budaya serba cepat, praktis, dan instan, sering kali tidak memiliki kesempatan untuk mengendapkan pengalaman-pengalaman yang dialami. Orang berdiam dan merefleksikan pengalaman dipahani sebagai pekerjaan sia-sia. Oleh sebab itu pengalaman hidup setiap hari lebih dipahami dan dimengerti sebagai suatu hal biasa dan tidak berarti. Segala sesuatu dilihat secara rasional bahkan yang terasa lebih sering berkembang dibarengi dengan emosional. Orang lebih cenderung untuk mudah marah bila harapannya tidak tercapai.

Dengan menemukan makna dalam peristiwa-peristiwa hidup, dapat menumbuhkan passion dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan harian. Artinya segala sesuatu yang dikerjakan didasarkan pada antusias yang kuat sebab hidup ini berarti. Tugas-tugas yang dikerjakan dapat menjadi persembahan kepada Allah sang pemberi hidup. (Floribertus)
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment